Rabu, 21 November 2012

Long Distance Relationship



21 November 2012

"Tenang aja udah ada yang gantiin posisi kamu kok," jawabnya santai, aku hanya terdiam memandangi layar handphone, memastikan bahwa yang menelponku memang dia, spechless tiba-tiba ngedenger dia ngomong gitu. hancur, pasti. hatiku ini bukan terbuat dari besi yang sekali dijatuhkan akan tetap bertahan pada bentuk aslinya. Aku tak bisa menangkap kata-kata selanjutnya yang ia sampaikan. Aku terdiam beberapa saat, ia terus memanggilku dari ujung telepon, tak kupedulikan. Aku lantas memutus sambungan telpon secara sepihak, dia saja bisa memutuskan hubungan kami secara sepihak, kenapa aku tak bisa memutus sambungan juga secara sepihak. Entah kenapa kepalaku tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa. Aaarghh aku memegang kepalaku menarik narik rambutku, sakit, tapi tak sebanding dengan sakitnya ketika ia mengucapkan kata-kata putus tadi. Aku melihat sekeliling kamar, hanya ada tumpukan buku, segera susunan buku yang sudah rapi itu aku hancurkan karena emosiku sedang memuncak. Aku kembali berteriak kali ini dikamar mandi, cukup membuat teman-teman di kos-an ku merasa shock. Aku keluar dengan tubuh basah kuyup, namun masih berpakaian lengkap. Salah seorang temanku membimbingku kembali menuju kamar.
"Ganti baju dulu," katanya sambil menyodorkan handuk dan membongkar lemariku menarik beberapa helai pakaian. Aku hanya menuruti keinginannya.
"Ada apa?" katanya dengan bahasa yang lembut setelah melihatku agak sedikit tenang. Yang ditanya malah membisu. Aku hanya bisa menggenggam tangannya, ia mengelus punggunggku perlahan, aku tak bisa menahan diri, akhirnya tangisanku tumpah di bahunya. Aku memeluknya dan ia membiarkannya.
"Aku udah coba sabar, Le," akhirnya aku membuka suara.
"Tapi dia malah mutusin aku secara sepihak gini, padahal aku udah mati-matian buat pertahanin hubungan ini, dia yang disana seenaknya sudah mencari wanita lain," sambungku sambil terisak. Lea kembali mengusap punggungku lembut, mungkin itu adalah salah satu obat penenang. Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi aku terlarut dalam tangisan di pundaknya.

                   

Tiba-tiba sambungan telepon putus, membuat bingung lelaki yang sedang duduk di tepi jendela kamar memandangi pemandangan luar yang tak begitu menarik perhatiannya. sejauh mata memandang hanya rumah, rumah dan rumah. Seharusnya ia tak perlu bingung, isakan yang terdengar dari ujung sambungan sudah bisa menjelaskan semuanya. Ia memutuskan untuk mengambil kunci motor dan melesat menyusuri jalanan kota yang penuh polusi.

¶¶¶

Sudah dua hari nafsu makanku hilang. Entah kenapa setiap ingin memasukkan makanan ke dalam mulut, rasanya aneh dan malah membuatku mual. Tapi Lea selalu memaksaku. Aku terpaksa menghabiskan setengah mangkok bubur dalam waktu lebih dari satu jam. Itupun dibantu dengan beberapa suapan darinya dan pulang balik ke toilet untuk memuntahkannya kembali. Aku seperti tak punya tenaga untuk melangkah, sudah dua hari pula aku tak masuk kuliah, konyol memang orangtuaku memarahiku karena absen hanya gara gara aku diputuskan. Aku tak setegar sangkaan mereka. Dia adalah cinta pertama sekaligus kekasih pertamaku. Bukan waktu yang sebentar menjalani hubungan selama tiga tahun. Namun kenapa kami begitu rapuh ketika dihadapkan pada jarak yang membentang luas. Semudah itukah ia melupakanku setelah selama ini kami berjuang mempertahankannya. Memang akhir akhir ini sikapnya agak berubah. Ia lebih sering memarahiku ketimbang mengucapkan kata-kata yang membangkitkan semangatku. Hal sepele, ia memarahiku karena aku memilih untuk meninggalkannya. Aku tak bermaksud begitu, sebelum aku mengenal sosoknya, sudah menjadi impianku untuk melanjutkan pendidikanku di kota ini. Lalu kenapa aku harus merubah mimpiku ketika dia hadir? Aku sudah diberi kesempatan untuk berada disini, aku tak mungkin menyia-nyiakannya hanya karena dia tak bisa hubungan jarak jauh. Aku tau resikonya, kami tak bisa saling memberi dan mendapatkan perhatian penuh seperti dulu, kami juga tak bisa lagi sering terlihat jalan berdua. Ketika mengantarku di bandara ia terlihat berat untuk melepaskanku, sebenarnya itu juga yang terjadi padaku. Aku mengenggam tangannya sampai ketika panggilan untuk berangkat terdengar dari pengeras suara. Nampaknya ia menginginkan aku berbalik arah lalu memeluknya kemudian berkata aku tak jadi meninggalkannya seperti yang biasa dilakukan di sinetron sinetron, tapi aku tak mungkin melakukannya.
"Aku kangen sama kamu," begitu suaranya di telpon ketika pertama kali aku mengiriminya pesan bahwa aku sudah sampai dengan selamat di tempat tujuan.
"Kapan bisa ketemu lagi?" tanyanya, padahal ia sendiri tau ini baru dua setengah jam sejak pertemuan berakhir. Aku hanya tertawa kecil. ia memang agak sedikit kekanak-kanakan. Aku lantas berbicara tentang suasana kota disini, ia hanya terdiam mendengarnya. Sepertinya ia tak puas sebelum aku menjawab pertanyaannya yang terakhir.

                   

Ia terlihat melaju di jalanan kota. Tak seperti biasa, ia memcu kendaraannya diatas kecepatan rata-rata. Ia berhenti di sebuah rumah bercat biru. Tak perlu mengetuk pintu, sepertinya penghuni rumah sudah tau kedatangan tamu. Ia lalu mengikuti arah si pemilik rumah dan masuk kedalam.
"Gimana hubunganmu sama dia?" wanita itu memulai percakapan.
"Masih terjaga banget," jawabnya tanpa ragu.

                   

Bodoh, kenapa aku harus lemah karena dia? Percuma mempertahankan hubungan jika dia saja tidak berniat untuk melanjutkan. Aku menarik napasku dalam-dalam sembari mengingat apa-apa yang telah dia perbuat untuk menghancurkan hubungan ini, lalu melepaskannya ke udara lepas. Semoga kenangan itu turut terbang bersama karbondioksida yang baru saja ku lepaskan. Namun membuang ingatan tidak semudah itu, swmakin kau ingin melupakannya maka ia akan menarikmu untuk memikirkannya. Masih terngiang di benak bagaimana bahagianya ketika baru awal menjalin hubungan. Sering diantar jemput sekolah, sering jalan bareng, menghabiskan hari di rumah, hadiah yang dia berikan, tawanya yang lepas, kelucuannya, kenapa yang diingat kebaikannya? Aku menghentikan lamunanku lalu keluar kamar mencari Lea. Aku butuh merefresh otakku setelah tiga hari yang penat di dalam kamar.
"Le..Le.." panggilku sambil mengetuk pintu kamarnya.
"Sebentar, Ken," teriak Lea dari dalam lalu terdengar derap kaki mendekat.
"Ada apa, Ken?"
"Jalan yuk, suntuk disini."
"Oke bentaran, kamu keluar dulu aku mau ganti baju."

                   

"Maaf ya tadi ada temen ngajakin jalan," kata suara diujung telepon.
"Gak apa-apa, ya udah kita lanjutin ngobrolnya nanti aja ya sayang," jawab lelaki itu sambil menutup telponnya. Kedua insan yang sedang dilanda asmara itu lantas tersenyum memandangi layar telepon masing-masing.

                   

"Kenapa aku harus nangisin dia ya? Padahal dia aja mungkin gak menyesal udah mutusin aku," aku membuka suara setelah sampai di taman kota.
"Tapi aku tetep gak bisa ngelupain dia, Le, dia itu udah masuk ke dalam kehidupan aku terlalu lama. Tiga tahun, bayangin Le, kenapa akhirnya malah gini?" aku meluapkan semuanya kali ini harus tanpa airmata. Aku memandangi wajah Lea, ia hanya tersenyum tipis, selalu begitu, di kosan dia adalah wanita yang tak banyak bicara. Ia bisa melakukan semua tanpa harus diselingi dengan percakapan yang tak penting.
"Sabar ya, mungkin suatu saat akan datang penggantinya," akhirnya Lea membuka suara. Aku hanya mengangguk terpaksa menyetujui kata-kata Lea. Sejujurnya aku sangat penasaran dengan wanita yang sudah menggantikan posisiku. Benarkah ia mampu menjagamu? Sanggupkah ia dengan segala keegoisanmu? Atau ia hanya memanfaatkanmu disaat butuh? Entahlah aku tak mungkin bertanya padamu siapa dia, hanya menjatuhkan harga diriku saja. Aku pun tak tau harus bertanya pada siapa. Angin? Angin sudah bosan menyampaikan segala keluh kesahku tentangmu. Ia sudah banyak menerima cacian dariku ketika kau tiba-tiba menghilang di tengah pembicaraan.

                   

"Kamu gak takut?" tanya wanita pemilik rumah biru.
"Maksudnya?" tanya lelaki itu bingung.
"Karma," jawabnya perlahan. Lelaki berkemeja garis garis biru itu terdiam sejenak

                   

Aku harus move on. No more galau buat hal-hal yang tak penting. Akan kuajak Lea untuk menemaniku bersenang senang di taman kota. Aku menuju kamar Lea yang selalu tertutup.
"Le..Le.." ku ketuk pintu kamarnya. Namun tak seperti biasa, tak terdengar sahutan dari dalam. Kucoba panggil sekali lagi.
"Le..." tetap tak ada tanda-tanda panggilanku akan dijawab. Kemana perginya Lea? Biasanya jam segini dia sibuk berkutat dengan buku-buku di kamarnya. Akhirnya aku memberanikan diri membuka pintu kamarnya. Aneh, tak dikunci. Padahal ia entah tak tau pergi kemana. Begitu masuk mataku langsung tertuju ke arah meja belajarnya. Sebingkai poto ia bersama lelaki yang mungkin adalah kekasihnya. Aku terkejut melihat orang yang sangat kukenal.

                   

"Aku tau kamu dan Lea adalah sepasang kekasih yang sudah lama menjalin cerita. Ketika Lea pergi mengikutiku ke luar negeri selama tiga tahun hubungan kalian tanpa kepastian. Aku juga tau kau menjalin kedekatan dengan temen sekolahmu. Jika tebakanku benar namanya adalah Niken." Lelaki berperawakab tinggi itu hanya menunduk mengiyakan kata-kata yang disampaikan Kak Sita. Ia kembali melanjutkan kalimatnya, "Lalu ketika Lea kembali maka kau pun menganggap kalian masih sebagai kekasih, begitupun dengan Lea. Lalu kau mencampakkan Niken dan kembali menjalin hubungan dengan Lea. Tapi apa perbuatanmu tidak salah? Aku memang tidak melarang kau berhubungan dengan Lea,adikku, namun kau pikirkankah perasaan Niken yang selama tiga tahun sudah mengurusmu?" Lelaki itu semakin tertekan. Ia tak tau apa yang harus ia lakukan. Ia harus memilih satu diantara dua wanita itu. Dan ketika ia telah memilih ternyata pilihannya cukup menyakitkan.

                   

Aku menunggu Lea di dalam kamarnya sambil memegangi poto Lea bersama kekasihnya yang sekaligus merupakan mantanku. Ternyata selama ini Lea lah penyebab hancurnya hubunganku dengan Arai. Ternyata diam diam ia sudah merebut Arai dariku. Siapa sangka temanmu sendiri merupakan penyebab hancurnya hubunganmu dengan kekasihmu.
"Niken," Lea terkejut melihat keberadaanku dikamarnya. Lebih-lebih ketika ku tunjukkan foto itu.
"Kamu salah mengira, Ken. Aku dan Arai itu..." Aku tak suka mendengar nama itu disbut lagi, sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya aku sudah berlalu kembali menuju kamarku. Kali ini teriakanku tiga kali lebih keras dari yang sebelumnya. "Pengkhianaaaaaat!!! Aku takkan percaya lagi dengan cinta!" teriakku sambil menggesekkan benda kecil berujung tajam ke nadi.

2 komentar:

  1. tulisannya bagus dibikin buku aja
    salam kenal

    BalasHapus
  2. terima kasih, rencananya sih juga gitu hehe doain aja ada yang nawarin :D aamiin
    salam kenal juga :)

    BalasHapus