Upacara Senin
itu berlangsung khidmat. Dengan dinaikkannya sang saka merah putih ke puncak
tertinggi pertanda perjuangan para pahlawan tak sia-sia. Disambung amanat dari
pembina upacara tentang perbaikan mutu sekolah dan ditutup dengan pembacaan
doa. Semua berlangsung biasa. Kecuali yang terjadi setelahnya.
Setelah barisan dibubarkan, semua
siswa beranjak dari tempat mereka berdiri dan mulai memasuki kelas
masing-masing. Ada sedikit waktu tersisa yang dimanfaatkan untuk mendinginkan
diri dari hawa panas yang menyengat pada saat upacara. Tak lama kemudian
guru-guru mulai berjalan memasuki ruang kelas untuk mentransfer ilmu yang
dimiliki pada bibit muda penerus generasi bangsa.
Di ruang paling ujung, dibarisan
bangku paling belakang terlihat seorang
gadis sedang sibuk sendiri. Disaat semua perhatian tertuju pada
penjelasan tentang teorema faktor, ia malah sibuk membongkar-bongkar tasnya.
Mukanya gelisah, tangannya masih mengeluarkan barang-barang yang ada didalam
tasnya.
“Aduh..mana ya?” Ia masih merogoh
isi tasnya.
“Perasaan tadi bawa deh,” gumamnya
lagi.
“Apa sih, Ni?” Tanya teman
sebangkunya.
“Laptop!” Serunya.
“Kenapa laptopnya?” Tanya temannya
lagi.
“Gak tau nih. Tadi pagi masih ada di
tas, abis upacara udah gak ada.”
“Hah? Yang bener aja?” Oni hanya
mengangguk. Kini mereka berdua semakin ribut dan memancing gurunya unutuk
menegur anak didiknya.
“Oni, Lia, kenapa kalian ribut
daritadi?” Hardik Bu Rahma.
“Laptop Oni hilang, Bu!” Lapor Lia.
Lalu Oni pun menceritakan detail
kejadiannya. Ia juga langsung menelpon orang tuanya dirumah memastikan bahwa
dia benar-benar membawanya. Diseluruh penjuru rumah, baik di kamar, di lemari, di
tempat tidur, di ruang tamu, di meja maka, di meja belajar, di keluarga, di
dapur, di kolong-kolong, bahkan dibelakang pintu sudah diperiksauntuk hasil
yang sia-sia. Suasana kelas berubah dari serius menjadi riuh.
Sekarang semua sibuk mencari. Oni
benar-benar lemas kali ini. Dia tidak tau harus bersikap bagaimana. Barang itu
belum sepenuhnya ia miliki. Ia baru memegangnya selama sembilan bulan dengan
tagihan yang harus dibayar hingga setahun. Dan kini ia harus membayar sesuatu
yang tidak ia miliki lagi. Upacara Senin itu menjadi pemutus hubungannya dengan barang miliknya yang berharga. Pikirannya melayang jauh ke angkasa. Raganya hanya terdiam ditempat.
“Oni!” Lia mengguncang tubuh Oni.
“Iya,” jawabnya lemas.
“Tuh polisi datang! Temuin sana,
mereka minta keterangan dari kamu.” Lia mendorong Oni kehadapan para polisi.
Setelah meminta keterangan dari korban, lelaki-lelaki gagah itupun mulai
memeriksa ruangan untuk penyelidikan. Oni hanya bisa terdiam menyaksikannya.
Ia masih tak habis pikir bagaimana
benda sebesar itu bisa lenyap dalam penjagaan di lingkungan sekolah. Apalagi
para guru yang menghampirinya mengatakan bahwa mereka selalu melihat keadaan
sekitar selama upacara berlangsung. Oni salut pada pencuri yang bisa lolos dari
ketatnya penjagaan sekolah, pastinya sang pencuri sudah tau seluk beluk sekolah
ini. Ia juga salut pada seseorang yang berani mencuri. Ia sudah banyak
melanggar norma yang berlaku. Norma agama sudah pasti, mencuri adalah perbuatan
tercela yang akan dikenai dosa. Lalu
norma kesopanan, karena ia sudah mengambil barang milik orang lain tanpa izin
pemiliknya. Dan ia juga melanggar norma hukum, karena mencuri adalah perbuatan
yang melanggar hukum di negara ini.
Siangnya Oni memberanikan diri
pulang ke rumah dengan muka yang cukup resah. Apa kata orangtuanya tentang
kejadian ini. Apakah Oni juga hanya akan tinggal nama seperti laptopnya.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Oni. Dan seperti yang sudah
dibayangkan, orang dirumah menyambutnya dingin. Oni hanya pasrah saat itu,
karena memang dia yang salah membawa laptop itu hingga tinggal nama.
Ini pelajaran buat Oni untuk selalu
menjaga barang miliknya. Walaupun dilingkungan yang dirasa cukup aman. Oni
berjanji untuk menjaga semua barang miliknya yang masih ia miliki. Kini ia
harus menerima kenyataan pahit untuk membayar tagihan pada saat barangnya sudah
tiada.
4 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar