26.06.2012
“Seharusnya kamu kayak dia, rajin, ulet, cantik lagi.” Aku paling benci kalau kata-kata itu sudah keluar dari mulut Kak Dio. Bukan sekali dua kali, sudah puluhan bahkan akan menjadi ratusan kali sejak kami ditugaskan di kota ini tiga hari lalu. Kami memang baru pertama kali menginjakkan kaki disini, itu yang membuat semangatku menggebu-gebu, pada awalnya. Setelah Kak Dio sering membanding-bandingkan aku dan Sintya rasanya aku ingin pulang saja.
Kak Dio adalah seniorku sedangkan Sintya merupakan rekan kerjaku. Baru beberapa bulan bekerja kami sudah dipromosikan sehingga atasan meminta kami menangani proyek di luar kota. Tentu saja aku antusias. Aku akan mendatangi daerah yang belum pernah ku datangi, pasti banyak pengalaman yang ku dapat disana, setidaknya menambah perbendaharaan kataku. Disana kan pasti pakai bahasa daerah.
“Daraaa…!” Panggil Kak Dio sambil mengetuk pintu kamar. “Sebentar Kak, baru selesai mandi nih,” teriakku dari dalam. “Cepetan dong, Sintya aja udah selesai sarapan, kamu belum ngapa-ngapain.” Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Kak Dio aku jadi semakin memperlambat gerakku. Mungkin bagi sebagian orang itu merupakan motivasi agar terpacu menjadi lebih baik, tapi menurutku itu namanya membanding-bandingkan. Yang malah akan membuat semangatku turun, karena aku paling tidak suka dibanding-bandingkan dengan siapapun.
Dengan langkah gontai aku membuka pintu membiarkan Kak Dio masuk lalu kurebahkan lagi tubuhku diranjang yang empuk ini. “Loh kok tiduran lagi? Cepetan sarapan sana!” Tegur Kak Dio. “Males,” jawabku tak bergairah. Tapi akhirnya aku berjalan juga menuju dapur setelah badanku ditarik-tarik dari tempat tidur lalu didoorong keluar kamar. Ku lihat Sintya masih duduk disana menikmati secangkir cappuccino panas. Senyumnya pagi itu membuat aku kehilangan nafsu makan. Padahal aroma nasi goreng begitu menggelitik hidungku. Ku ambil piring lalu ku bawa ke dalam kamar. Aku malas berada satu meja dengannya. Daripada mood makanku hancur dan aku tak mendapat cukup asupan energi untuk beraktifitas, lebih baik aku pergi.
Kini aku berada ditengah teriknya mentari. Sengatannya yang tajam mampu menembus pelapis tubuhku. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum yang sebelumnya dipanasin dulu pakai api. Disini jauh dari segala aktifitas rumah, kita dituntut bertahan di medan yang bisa ku bilang cukup sulit. Aku harus berkeliling dahulu untuk tau daerah yang akan kami hadapi. Tak jarang teriakanku meggema sedikit mengeluh dengan udara yang lumayan membakar.
Aku tak terlalu menekankan pada hasil kerjaku yang spektakuler, aku hanya menginginkan kenyamanan yang tercipta ketika bekerja. Aku lebih banyak berkomunikasi dengan penduduk sekitar untuk mengakrabkan diri, dan sedikit demi sedikit mulai bisa mempraktikannya, walau aku hanya bisa dua tiga kata dengan pelafalan yang masi kaku, aku senang, mereka bahkan tertawa mendengarkannya. Tapi lain dengan Kak Dio, dia memarahiku, katanya aku ini terlalu banyak berbicara, yah semua yang aku lakukan selalu salah dan yang Sintya lakukan adalah benar di mata Kak Dio. Lagi-lagi dia mengeluarkan kata-kata andalannya, “Liat tuh Sintya, gak banyak bicara.” Iya emang dia gak banyak bicara, tapi ntar juga dia ngikut kata-kata yang baru saja kupelajari, pura-pura mengakrabkan diri karena bisa berkomunikasi pakai bahasa daerah sini. Menyebalkan.
Ingin rasanya aku melawan omongan Kak Dio, sekalii saja, biar dia tuh tau perasaan aku sakit banget tiap dia ngebanding-bandingin gitu, tapi yah aku tetap harus menghormati dia sebagai senior aku.gimanapun juga, dia yang udah bikin aku ada disini, dia juga yang mengawasi, menjaga dan bertanggung jawab penuh terhadap kesalamatan selama aku berada disini. Kerjanya Kak Dio jadi kayak bodyguard ya, hihihi.
Harus ku akui, Sintya memang lebih dan mempunyai apa yang ia inginkan. Aku saja yang suka iri, padahal dia tak berbuat apa-apa padaku. Ia tak menyentuhku saja aku sudah begitu dongkol apalagi kalau dia berbuat sesuatu padaku, mungkin bisa jadi aku akan emosi tingkat nasional, hahaha :D
Walaupun kata-kata menjengkelkan itu sering keluar dari mulut kak Dio, tapi kini aku tak pernah mengubrisnya. Aku jarang mengambil hati lagi dari setiap perbandingan yang dia lakukan kepadaku. “Liat tuh Sintya jam segini udah rapi, kok kamu baru bangun?” “Coba kayak Sintya gak disuruh, dia rajin sendiri, pantesan mukanya makin cantik.” Padahal gak ada hubungannya sama sekali, dasar Kak Dio, ataupun dia sering bilang gini, “Kok kamu gak bisa sih ngerjain kayak Sintya, kayaknya kerjaan kamu gak sebagus Sintya deh. Bla bla bla..” Dan masih banyak lagi rentetan kata yang dulu buat aku naik darah.
Aku punya kehidupan sendiri, seberapa sering Kak Dio menyuruhku menjadi Sintya, itu akan menjadi hal yang sia-sia, karena itu takkan pernah terjadi. Aku ya aku, aku ya Dara. Dara yang jadi dirinya sendiri. Dara yang tampil apa adanya tanpa topeng yang ia buat-buat. Dara yang melakukan pekerjaan dengan sebuah kenyamanan. Dara yang gak mau cari perhatian seseorang sehingga menjadi beban tersendiri. Aku ya aku, it’s my life, not yours.
Karena belakangan ku ketahui Sintya sudah mulai penat dengan kehidupannya. Ia letih jika setiap waktu harus dituntut menjadi sempurna. Karena ia juga manusia, bukan robot yang dengan mudah bisa dikendalikan. Lama-lama aku kasihan juga pada Sintya. Aku sudah tak peduli dengan kekesalanku padanya, karena aku menemukan hidupku sendiri, jauh dari bayang-bayang tekanan. Aku membawa semuanya dengan santai. Biar Kak Dio bilang ini itu, jarang ada yang ku buat, aku melakukan semuanya sesuai caraku, karena ini hidupku, bukan hidupnya. Semoga Sintya cepat sadar bahwa hidup dibawah bayang-bayang orang lain itu menyakitkan. Hidup bermodalkan omongan orang dan melakukan dengan terpaksa sangat tidak baik di era ini. Sesekali coba ia menikmati hidup yang tak tertekan dan bebas dari tuntutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar