Minggu, 12 Agustus 2012

Pelangi dan Mentari

Arta, Ega pengen deh jadi mentari.
Enakan jadi pelangi.
Apa enaknya jadi pelangi? Harus ninggu hujan dulu baru bisa diliat.
Tapi disitulah letak keindahannya.
Kenapa?
Ketika hujan turun tak lama setelah reda pelangi muncul, kayak seseorang yang sedang merasa sedih kemudian bahagia setelah masalah itu selesai.
Jadi setelah kita bersedih, kita pasti dapat kebahagiaan?
Ya begitulah..
Tapi pelangi munculnya bentar doang kan..
Justru disitu letak keindahannya, walaupun pelangi munculnya bentar, tapi selalu dinanti penduduk bumi dengan sukacita kan, sama seperti kebahagiaan yang selalu dinanti.
Tapi kerenan jadi mentari dong, mentari itu kuat.
Kok bisa?
Mentari itu tak henti-hentinya menyinari bumi, sinar itu bagaikan semangat yang membakar.
Eh, tapi kan mentari gak ada pas malam.
Mentari itu berkeliling mencari tempat yang belum dia beri cahaya.
Tapi, Ga, matahari kan bikin panas.
Iya, tapi panasnya kan bermanfaat. Oya, mentari itu rela membakar dirinya untuk kita. Aku pengen jadi seperti itu, yang rela berkorban untuk orang lain.
Iya, mentari keren yah, Ga.
Satu lagi, Ar..
Apa?
Pelangi gak bakal ada tanpa bantuan sinar dari mentari ;)

14 Juli 2011

It's My Life, not yours

26.06.2012

“Seharusnya kamu kayak dia, rajin, ulet, cantik lagi.” Aku paling benci kalau kata-kata itu sudah keluar dari mulut Kak Dio. Bukan sekali dua kali, sudah puluhan bahkan akan menjadi ratusan kali sejak kami ditugaskan di kota ini tiga hari lalu. Kami memang baru pertama kali menginjakkan kaki disini, itu yang membuat semangatku menggebu-gebu, pada awalnya. Setelah Kak Dio sering membanding-bandingkan aku dan Sintya rasanya aku ingin pulang saja.

Kak Dio adalah seniorku sedangkan Sintya merupakan rekan kerjaku. Baru beberapa bulan bekerja kami sudah dipromosikan sehingga atasan meminta kami menangani proyek di luar kota. Tentu saja aku antusias. Aku akan mendatangi daerah yang belum pernah ku datangi, pasti banyak pengalaman yang ku dapat disana, setidaknya menambah perbendaharaan kataku. Disana kan pasti pakai bahasa daerah.

“Daraaa…!” Panggil Kak Dio sambil mengetuk pintu kamar. “Sebentar Kak, baru selesai mandi nih,” teriakku dari dalam. “Cepetan dong, Sintya aja udah selesai sarapan, kamu belum ngapa-ngapain.” Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Kak Dio aku jadi semakin memperlambat gerakku. Mungkin bagi sebagian orang itu merupakan motivasi agar terpacu menjadi lebih baik, tapi menurutku itu namanya membanding-bandingkan. Yang malah akan membuat semangatku turun, karena aku paling tidak suka dibanding-bandingkan dengan siapapun.

Dengan langkah gontai aku membuka pintu membiarkan Kak Dio masuk lalu kurebahkan lagi tubuhku diranjang yang empuk ini. “Loh kok tiduran lagi? Cepetan sarapan sana!” Tegur Kak Dio. “Males,” jawabku tak bergairah. Tapi akhirnya aku berjalan juga menuju dapur setelah badanku ditarik-tarik dari tempat tidur lalu didoorong keluar kamar. Ku lihat Sintya masih duduk disana menikmati secangkir cappuccino panas. Senyumnya pagi itu membuat aku kehilangan nafsu makan. Padahal aroma nasi goreng begitu menggelitik hidungku. Ku ambil piring lalu ku bawa ke dalam kamar. Aku malas berada satu meja dengannya. Daripada mood makanku hancur dan aku tak mendapat cukup asupan energi untuk beraktifitas, lebih baik aku pergi.

Kini aku berada ditengah teriknya mentari. Sengatannya yang tajam mampu menembus pelapis tubuhku. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum yang sebelumnya dipanasin dulu pakai api. Disini jauh dari segala aktifitas rumah, kita dituntut bertahan di medan yang bisa ku bilang cukup sulit. Aku harus berkeliling dahulu untuk tau daerah yang akan kami hadapi. Tak jarang teriakanku meggema sedikit mengeluh dengan udara yang lumayan membakar.

Aku tak terlalu menekankan pada hasil kerjaku yang spektakuler, aku hanya menginginkan kenyamanan yang tercipta ketika bekerja. Aku lebih banyak berkomunikasi dengan penduduk sekitar untuk mengakrabkan diri, dan sedikit demi sedikit mulai bisa mempraktikannya, walau aku hanya bisa dua tiga kata dengan pelafalan yang masi kaku, aku senang, mereka bahkan tertawa mendengarkannya. Tapi lain dengan Kak Dio, dia memarahiku, katanya aku ini terlalu banyak berbicara, yah semua yang aku lakukan selalu salah dan yang Sintya lakukan adalah benar di mata Kak Dio. Lagi-lagi dia mengeluarkan kata-kata andalannya, “Liat tuh Sintya, gak banyak bicara.” Iya emang dia gak banyak bicara, tapi ntar juga dia ngikut kata-kata yang baru saja kupelajari, pura-pura mengakrabkan diri karena bisa berkomunikasi pakai bahasa daerah sini. Menyebalkan.

Ingin rasanya aku melawan omongan Kak Dio, sekalii saja, biar dia tuh tau perasaan aku sakit banget tiap dia ngebanding-bandingin gitu, tapi yah aku tetap harus menghormati dia sebagai senior aku.gimanapun juga, dia yang udah bikin aku ada disini, dia juga yang mengawasi, menjaga dan bertanggung jawab penuh terhadap kesalamatan selama aku berada disini. Kerjanya Kak Dio jadi kayak bodyguard ya, hihihi.

Harus ku akui, Sintya memang lebih dan mempunyai apa yang ia inginkan. Aku saja yang suka iri, padahal dia tak berbuat apa-apa padaku. Ia tak menyentuhku saja aku sudah begitu dongkol apalagi kalau dia berbuat sesuatu padaku, mungkin bisa jadi aku akan emosi tingkat nasional, hahaha :D

Walaupun kata-kata menjengkelkan itu sering keluar dari mulut kak Dio, tapi kini aku tak pernah mengubrisnya. Aku jarang mengambil hati lagi dari setiap perbandingan yang dia lakukan kepadaku. “Liat tuh Sintya jam segini udah rapi, kok kamu baru bangun?” “Coba kayak Sintya gak disuruh, dia rajin sendiri, pantesan mukanya makin cantik.” Padahal gak ada hubungannya sama sekali, dasar Kak Dio, ataupun dia sering bilang gini, “Kok kamu gak bisa sih ngerjain kayak Sintya, kayaknya kerjaan kamu gak sebagus Sintya deh. Bla bla bla..” Dan masih banyak lagi rentetan kata yang dulu buat aku naik darah.

Aku punya kehidupan sendiri, seberapa sering Kak Dio menyuruhku menjadi Sintya, itu akan menjadi hal yang sia-sia, karena itu takkan pernah terjadi. Aku ya aku, aku ya Dara. Dara yang jadi dirinya sendiri. Dara yang tampil apa adanya tanpa topeng yang ia buat-buat. Dara yang melakukan pekerjaan  dengan sebuah kenyamanan. Dara yang gak mau cari perhatian seseorang sehingga menjadi beban tersendiri. Aku ya aku, it’s my life, not yours.

Karena belakangan ku ketahui Sintya sudah mulai penat dengan kehidupannya. Ia letih jika setiap waktu harus dituntut menjadi sempurna. Karena ia juga manusia, bukan robot yang dengan mudah bisa dikendalikan. Lama-lama aku kasihan juga pada Sintya. Aku sudah tak peduli dengan kekesalanku padanya, karena aku menemukan hidupku sendiri, jauh dari bayang-bayang tekanan. Aku membawa semuanya dengan santai. Biar Kak Dio bilang ini itu, jarang ada yang ku buat, aku melakukan semuanya sesuai caraku, karena ini hidupku, bukan hidupnya. Semoga Sintya cepat sadar bahwa hidup dibawah bayang-bayang orang lain itu menyakitkan. Hidup bermodalkan omongan orang dan melakukan dengan terpaksa sangat tidak baik di era ini. Sesekali coba ia menikmati hidup yang tak tertekan dan bebas dari tuntutan.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Buatku Gila

aku datang kau tak peduli
aku pergi kau tangisi
aku ada kau sakiti
aku hilang kau cari
aku bahagia kau iri
aku sedih kau disisi
aku dekat kau jauhi
aku jauh kau hampiri
ah bingung aku
aku tertawa kau sinis
aku menangis kau ubris
aku bicara kau lari
aku diam kau dekati
aku benar kau pertanyakan
aku salah kau nasehati
aku bangun kau biarkan
aku jatuh kau ulurkan tangan
ah bisa gila aku

Tuhan saksinya

dikhianati, sepertinya kau tau betul makna kata itu. dikucilkan, kau lebih tau rasanya. tak dianggap, tak buat dirimu lemah. tertuduh tapi bukan tersangka. tertawa dalam keadaan tertekan. kau hanya diam diantara cemoohan. berlalu mencoba tak peduli. bertahan ditengah angin yang sedang ingin menerpamu. biarkan mereka menggonggong. Tuhan saksinya, kau putih. derajatmu ditinggikan.

tiga kata buat kamu : Tuhan tidak tidur :)

berterimakasih pada waktu

aku berterimakasih pada waktu yang telah memisahkan dan memertemukan lalu kembali membuat jarak diantara kita.
aku berterimakasih pada jarak yang menjauhkan dan mendekatkan lalu membuat rindu diantara kita.
aku berterimakasih pada rindu yang terkadang sulit dilafalkan dan membuat kita menikmati kesendirian yang kita ciptakan.
aku berterimakasih pada kesendirian yang terkadang mengahadirkan sepi dan membuat kita kembali menghargai setiap detik waktu yang kita lewati.

Rahasia Pertemuan

Lamanya waktu berjalan bukanlah jaminan kita telah mengenal seseorang dengan baik. Banyak orang yang sudah mengenal bertahun-tahun pada akhirnya harus menerima kenyataan untuk putus di tengah jalan. Tetapi tidak sedikit mereka yang baru dipertemukan oleh waktu lalu menjalin keakraban dan bersatu. Kita tak pernah mengetahui rahasia waktu dan pertemuan.

Pertemuan merupakan awal dari sebuah kedekatan seseorang dengan yang lainnya. Pertemuan menjadi titik tolak bagi setiap insan yang pernah disatukan. Pertemuan membuat kita berkenalan dengan orang banyak, pertemuan menjadikan kita dekat dengan beberapa sahabat, pertemuan yang memulai awal seseorang menjalin hubungan. Pertemuanlah yang memiliki andil besar dalam setiap hubungan.

adanya pertemuan membuat kita juga harus mengenal perpisahan. karena kita diciptakan berpasangan, maka pasangan pertemuan adalah perpisahan. tak bisa dihindari setiap kita bertemu kelak kan berpisah, dipisahkan oleh ruang waktu banhkan maut. perpisahan juga bukan merupakan akhir, melainkan awal bagi kita untuk menuju pertemuan lainnya.

Luka itu manis

aku adalah orang yang paling tidak ingin melihat kau terluka, namun ketika ku akan membalut luka itu, kau malah melukai diriku. lalu kau mencoba mengobatinya. seperti angin, kau mendatangkan lalu melenyapkannya. saling melukai, tapi saling menyembuhkan. menyakitkan namun mengharukan. karena dari kita sama sama berusaha menyembuhkan luka yang telah kita buat karena kelabilan remaja.

that's why you called art

Based on true story

aku kamu dan dia memang sengaja dipertemukan oleh takdir dalam satu scene kehidupan. bersama mengukir rasa yang bersambung ke fase berikutnya. pasti ada pihak yang tersakiti, entah aku dia atau kamu. salah satu harus mengcut rasa yang sudah terlanjur ada.  sedang yang lain menikmati alur yang telah ditetapkan. drama kehidupan ini tak selamanya rumit, kita bisa menjalaninya, dengan sebuah keikhlasan. kita bisa buat menjadi episode yang indah dalam hidup kita.

Sahabat Pena

kita bersahabat walau tak pernah berjumpa
kita bertemu walau hanya lewat pesan
kita merindu walau tak pernah bertatap muka
kita mengenal walau hanya lewat gambar
kita bermimpi bersama walau jarak jauh terbentang
kita ciptakan suasana hangat sebagai saudara walau tak sedarah
kita bisa saling kagum walau hanya dari cerita
kita bisa saling ejek walau di dunia maya
kita buat perjanjian tuk selalu bersama walau tak pernah bersua
kita pastikan akan bertemu kelak ketika dunia sudah kita punya

28 Juli 12, 02:07
cahya kembara pnk
rischa ika rezandra jmb

Surganya menghilang

Lemas, aku merasakan tulang tulang kakiku lepas. Aku terduduk tak berdaya, ku pandangi genangan darah di hadapanku. Pengemudi itu membawa lari mobilnya, juga kakiku.

Hari-hari ku sudah antiklimaks. Aku merasa berada di tingkat kejenuhan paling akut. Aku ingin berlari, tapi ku tak bisa. Bukan karena aku pengecut, tapi aku sudah lupa bagaimana caranya.  Sudah lama aku tidak merasakan nikmatnya punya kaki.

Bagai matahari di tengah guyuran hujan, aku membuat semuanya membenciku. Bahkan aku membenci diriku sendiri yang hadir di tengah mereka. Hanya menyusahkan. Aku terlalu takut untuk menghindar dari mereka, setidaknya semenjak kakiku tak ada.

Aku rindu berlari di luasnya padang rumput. Aku rindu menari dibawah rinai hujan. Aku rindu mengitari pelangi. Aku rindu membuat kecipak air di pinggir kolam. Aku rindu berloncatan menggapai awan. Aku ingin melakukannya lagi, ketika rumah sakit mengadakan acara donor kaki.

Sepertinya sudah terlambat untuk mengatakan maaf. Percuma bilang maaf tapi tak ada yang diperbaiki. Kata maaf tidak akan mengembalikan semuanya. Lukaku, dukaku, sepiku gak bakalan terobati dengan satu kata. Ku hargai keberanianmu untuk jujur padaku. Tapi apa dengan kejujuranmu kakiku bisa kembali?

Kau takkan bisa menyuapku dengan berpura menjadi pahlawan dengan melunasi semuanya. Kau mencoba melunakkan hatiku. Aku bukan seperti coklat yang cepat meleleh jika diberi panas, aku takkan cepat luluh walau apapun yang kau berikan.

Hanya mengganti biaya operasi? Kalau bisa kau ganti kaki ini dengan yang sama seperti sebelumnya. Bukan yang hanya mampu untuk berdiri, namun yang juga bisa merasakan sentuhan hangat tanah dan kerasnya injakan dunia.

Kasihan anak-anakku kelak. Mereka hanya bisa terdiam, tertunduk lalu menyesal mempunyai ibu sepertiku. Mereka akan marah padaku karena mereka tak bisa merasakan nikmatnya surga. Karena kakiku diamputasi.

Minggu, 05 Agustus 2012

Pendaftaran Maba


12 Juli 2012

Acara mulai pukul delapan, aku datang passs banget jam segitu, and you know what? Udah ada ratusan manusia yang berjubel disana. Baru turun dari motor aja udah ada yang nawarin map, katanya nanti untuk di dalam, dua map seharga lima ratus dan seribu perak dijual mereka dengan harga 15000 rupiah, terus entah kenapa aku lupa bawa pulpen yang sebenarnya jadi barang wajib untuk saat-saat seperti ini, dan seperti itulah, terjebak dengan harga yang melambung tapi kualitas paling bawah. Dengan napas yang diburu, mulai masuk ke dalam himpitan manusia.
Alhamdulillah ketemu temen lama, setidaknya tidak bengong sendiri, aku tanya ma dia, “Udah beli map?” dengan lantang ia menjawab, “Ha? Map apaan?” Aku coba menenangkan dirinya, “Map yang tadi dijual di luar,” Akhirnya ia pun berinisiatif buat keluar beli map tadi, tapi dihadang sama satpam, setelah perbincangan yang cukup sengit, ia kembali tanpa membawa hasil. “Kenapa? Gak boleh keluar?” selidikku “Bukan, katanya pak satpam, map itu gak diperluin, ntar disini dikasih lagi,” katanya mantap “HA?? Jadi aku yang ketipu sama calo map?” gantian aku yang histeris -,-

Setelah isi formulir, aku ngumpulin ke loket satu, tuh kertas yang dikumpulin betumpuknya udah macam buku, padahal ni gedung kan baru buka, aku aja datang jam 8 udah segitu banyaknya, anak-anak yang lainnya ini datang kapan ya? Subuh? Atau malah mereka nginap disini dari hari sebelumnya? Pantesan aja tadi kayak ada bekas api unggun, mereka bangun tenda sih disini, hehe, bercanda kok yang ini.

Satu menit, sepuluh menit, lima belas menit, setengah jam, satu jam, dua jam, tiga jam kemudian namaku baru dipanggil untuk mengambil nomor mahasiswa. Kebayangkan gimana membosankannya berdiri selama itu ditengah keramaian, dalam ruangan yang gak terlalu besar dan gak dilengkapi dengan pendingin ruangan, entah bau-bauan apa saja yang tercium disana. Untung aja gak ada yang pake parfum aroma bunga bangkai, jadi sedikit lebih nyaman, sedikit loh ya, abisnya banyak yang pake parfum bau pete, hehe bercanda, serius..iya serius aku lagi bercanda. Begitu namaku dipanggil, aku bergegas menembus kerumunan manusia sambil tetap mengacungkan tangan pertanda aku akan mengambil berkasku, kalau tidak namaku akan dilewatkan dan bisa lama lagi aku menunggunya. Untung tadi gak lupa bawa jari ya, kalo gak, mau beli dimana? Pasti harganya mahal banget dah. Aku kan gak bawa banyak uang.

Alur pendaftaran yang harus ku ikuti selanjutnya adalah memasukkan berkas lagi untuk sesi poto. Ya ampun, kenapa pembuatan kartu mahasiswanya diadakan hari ini juga? Aku melihat diriku dari atas sampai bawah, gak ada tipe-tipe anak kuliahan sama sekali. Kaos oblong warna merah dengan peluh keringat dimana-mana seandainya bisa ku buka baju udah ku peras kali disitu, mungkin air keringatku bisa untuk nyuci baju satu bak dirumah, banjir banget abisnya. Tak lupa celana jeans kesayanganku yang warnanya dari biru hingga hampir putih, keseringan cuci kering pake, cuci kering pake, begitu seterusnya, kebanyakan kena deterjen. Muka aja gak putih-putih malah celana jadi putih. Dan…sandal jepit! Hahaha, aku kan gak tau kalau ini ada sesi potonya. Dengan muka lusuh bin kumal aku pun malu-malu duduk menghadap photographer, untungnya jaket almamater menyelamatkan pakaianku, tapi mukaku? Oh My God!! Seperti para kuli bangunan yang gak mandi 3 hari 3 malem. Kira kira di laptop mas itu ada photoshop nya gak? Pinjem bentar dong mas, mau ganti sama mukanya Emma Watson aja deh. Setelah menyelesaikan adegan memalukan itu, ingin rasanya aku menutup mukaku dengan map yang daritadi ku pegang. Kalo perlu pas tadi poto aku nutup muka aja, tapi sayangnya gak boleh, kata abangnya mapnya terlalu kegedean gak cukup di layar kamera, hahaha.

Aku berjalan menuju bank untuk melakukan pembayaran dibelakang gedung, dan lebih parah lagi, disini jejeran manusia kayak kerumunan semut yang nemuin gula sekilo jatuh di tanah, bejibun bangeeeet. Ternyata eh ternyata katanya jaringan bank ini lagi bermasalah, jadi daritadi satupun belum ada yang dilayani. Ya Allah, mesti nunggu berapa hari disini? Kenapa gak ada pemberitahuan disuruh bawa kasur dan bantal sih? Akhirnya aku duduk di lantai tanpa sebuah kepastian. Bosen duduk aku jalan-jalan disekitar bank, nemu tukang jual es langsung deh aku beli, buseeet harganya 5000/gelas. Pas ketemu sama temen dia nanya gitu, “Kamu beli berapa?” “lima rebuu” jawabku simpel. “Ha? Mahal amat! Tadi pagi aku beli 2500..” “Serius?” tanyaku. Ya ampun, dalam beberapa jam  saja harga barang-barang disini bisa naik dua kali lipatnya. Aku bayangin setiap jamnya mereka naikin harga dagangan lima ratus rupiah. Mereka mulai pukul 7 pagi, jualan minuman harga 2500 diikali 4 lah mungkin masih pagi dapet 10000, terus jam 12 harganya udah 5000 waktu panas panasnya bisa sampe 50 orang yang bel jadi dapet 250000, dtambah jam jam berikutnya, dengan kenaikan harga yang berlipat tiap jamnya, ini sih sama aja bapakku kerja satu bulan mereka jualan satu hari, gajinya sama itu, ini saatnya aku berkata WOW!! WOW!!

Perutku udah dangdutan daritadi, nih antrian makin panjang, untung tadi sempet titip antrian sama temen pas lagi beli minuman. Kayaknya cacing di dalam perut udah meliuk-liuk minta diisi. Gimana ya, mau ditinggalin sayang, ni orang udah pada berbaris kayak ngantri sembako, panjang beneeer, mau nitip antrian lagi, gak enak, dia aja daritadi belum beranjak dari tempatnya, mau disini, tapi nih pengemis dalam perut udah mulai bakar-bakar ban minta keadilan. Akhirnya cuma bisa celingak celinguk siapa tau aja nemu rumah makan padang berjalan. “Nasi rendang nya mbak” mungkin ada yang bawa-bawa piring bertumpuk di tangan terus bilang gitu, atau “Mas, ikan asam pedasnya boleh?” semua makanan di menu toko dibawa pake piring yang diletakin di tubuhnya, di tangannya, di kepalanya, mungkin ada juga yang digeser-geser pake kaki, kerennya lagi ntar ada yang bawa piring tapi piringnya diletakin di atas lidi terus diputer-puterin.

Sepertinya demo di dalam perut ini gak bisa ditolerir lagi, aksi anarkis terus dilakukan, lempar-lempar batu, sampe bakteri baik dalam tubuhku terpaksa mengeluarkan gas air mata biar mencoba membubarkan kerumunan massa. Gak tahan lagi, aku udah inisiatif cari makan, baru niat melangkahkan kaki, eh tiba-tiba bank nya udah buka. Begitu buka, badan langsung terasa segar kembali. Mungkin Tuhan pikir bahwa pergi ke warung makan itu kurang baik, buktinya aku baru niat aja udah dibatalin, “Untung baru niat belum sempat dicatat sama malaikat, ah selamat,” pikirku gitu.

Aku kira penderitaan ku hanya sampai disini, ternyata masih belum berakhir. Aku sudah siap siap melambaikan tangan seandainya aku sudah gak kuat menanggung beban hidup yang lumayan berat ini. Tapi ngomong-ngomong daritadi aku gak nemuin kamera, biasanya di sudut-sudut tersembunyi kan terpasang kamera, jangan-jangan mereka lupa lagi pasang kamera! Tapi ya sudahlah lagian aku tinggal daftar ulang di loket fakultas. Beruntungnya aku ketika sampai disana cuma ada dua calon mahasiswa yang mengantri. Ku kira akan berakhir lebih dari satu jam, ternyata enggak, aku hanya perlu mnyerahkan berkas lalu aku disuruh mendatangi universitas masing-masing untuk melakukan pendataan ulang. Aku resmi lho jadi mahasiswa, hihihi. Dan aku bisa dengan bangga lewat di depan kerumunan orang yang masih mengantri sambil teriak, “Eh belom selesai ya? Aku udah doong,” sambil membusungkan dada, lalu berlalu pergi sebelum para pemilik muka sinis itu mengahajar diriku yang malang ini. Gak lucu kan baru masuk kuliah tangan kaki diperban, muka biru-biru, jalan terseok-seok, “kasihan paak, kasihan buu” bukaaan…kenapa lari kesini ceritanya?

Begitulah pengalaman saya ketika pendaftaran ulang hari pertama dilaksanakan. Bagian mana yang menjadi favoritmu? Aku juga suka. Eh, kamu belum jawab ya? Hehehe..