“Ku akui aku memang cemburu, setiap kali mendengar namanya kau sebut. Tapi ku tak pernah bisa melakukan apa yang seharusnya kulakukan karna memang kau bukan milikku. Ku akui aku merindukanmu meski ternyata tak pernah kau merindukan ku tapi ku tak pernah bisa melakukan apa yg seharusnya kuinginkan karena memang kau bukan milikku.”
Tiba-tiba Hp ku bergetar, kubuka perlahan seperti ada seberkas harapan tersimpan disana.
“Giska.” Dan benar saja apa yang aku pikirkan, seseorang yang mengganjal di akhir hari-hariku mencoba menulai percakapan.
“Ap?” jawabku singkat dan tidak berminat.
“Kok ak sms gak dibalas?”
“Yg mana?” masih dengan suasana yang tidak begitu menyenangkan.
“Yg ak tanya kelanjutan dari kata2 kemaren.”
“Oh, itu hanya perasaan yang tidak bisa terlampiaskan dengan kata2.” Balasku cepat.
“Pasti kamu kan yang kemarin sms ak pake no lain, jangan bohong sama ak.” Yah, aku memang pernah memakai nomorku yang lain, tanpa menulis nana pengirim.
“Iy, trs knp?” jawabku makin sinis, entah kenapa, aku langsung mengetik apa yang terlintas di otakku tanpa memikirkan lagi apa yang aku ketik.
“Kita jujur y disini, sebenarnya kamu kenapa?”
“Seperti yg uda ak blg terlalu byk yang gk bisa diungkapkan dg kata2.”
“Kasih ak 1 kata yg mencakup semuanya, pasti ada.” Ternyata ia masih gigih mempertanyakan semua ini, padahal aku sudah mulai tak bisa membendung apa yang aku rasakan, berkali-kali aku nulis kata-kata yang mencurahkan semua isi hati aku dan berkali-kali pula aku menghapusnya. Entah apa yang ada dipikiranku, tangan ini sudah letih menuliskan kata2 tapi tak mampu jua mewakili persaan yang sedang aku alami, akhirnya aku hanya bias menjawab,
“NOTHING” satu kata yang sangat-sangat tidak mewakili perasaan ku, aku sudah gak tau lagi mau nulis apa, akhirnya hanya kata itu yang terlintas.
“Giska. Ada yg berubah dari aku?”
“Gak tau, kenapa mesti tanya sama aku? Aku gak bisa menilai orang secara subjektif.” Apalagi setelah aku dirasuki perasaan ini, ucapku dalam hati namun urung ku ketikkan.
“Terus kamu suruh ak tanya ma siapa?” kenapa sih orang ini, masa’ iya aku mau bilang tanya aja sama orang yang selalu kamu balas pesan-pesannya.
“Tanyakan pada cermin yang selalu menampilkan dirimu apa adanya.” Hanya itu yang ku kirim padanya.
“Giska, ak pengen tanya, kamu gak ada beban ma aku kan?” secara gramatikal kata-katanya seolah menunjukkan gak terjadi apa-apa, makanya kau pertanyakan ulang.
“Maksudnya?”
“Kamu ada masalah yang dipendam gak ma aku? Jujur y, kita terbuka jak lah skg.” Dan hatiku semakin gak menentu menbaca tiap kata dari setiap pesan yang ia kirim.
“Maaf aku gak bisa jawab sekarang.” Sepertinya pipiku sudah mengalir buliran panas
“Berarti ada yg kamu sembunyiin dari aku.” Ah aku sudah gak tahan kalo aku pendam lebih lama lagi. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berkata,
“Mau diomongin sekarang?”
“Iya, aku gak mau kalo kayak gini, jadi ada yg janggal.” Ya Tuhan, bantu hamba, tangan ku semakin menunjukkan tanda-tanda yang tidak baik, ia terus saja mengetik apa yang ada di fikiranku tanpa memberikanku waktu untuk berpikir ulang. Sesekali bibirku bergetar, aku benar-benar gak tau apa yang terjadi sekarang, semuanya cepat sekali berlalu.
“Ok, ak langsung aja, ak jujur sekarang. Aku iri sama seseorang, seseorang yg akhir2 ini deket sama kamu, seseorang itu temen baik aku sendiri, ya seseorang itu Vira. Aku iri sama dia yang akhir2 ini lebih sering kamu peduliin pesan2nya, aku iri sama dia yang bisa membuat suasana menyenangkan dalam hari2 kamu, aku iri sama dia yang selalu ada waktu buat kamu, aku iri ketika dia buat stat ttg kamu, dia tau lebih banyak ttg kamu daripada aku yg uda bertaun2 kenal sama kamu, aku nyesal banget aku selalu sibuk dan jarang ada waktu buat kamu, aku nyesal kenapa aku malah mempermasalahkan hal sekecil ini, ak nyesel kenapa sekarang aku jadi seperti anak kecil, aku nyesel, dan permasalahannya adalah karena aku suka envy sama orang dan aku terlalu egois. Tolong jangan bilang masalah ini sama Vira dulu, karena aku yang akan ngomong langsung sama dia, aku gak suka kalau kata2 tadi terdengar oleh Vira bukan dari mulutku, aku bisa menyelesaikan masalah ku sendiri.”
“Ak minta maaf ya Giska, kalo misalnya ak ngebeda2in kamu dg dia, tapi aku gak ada maksud kayak gitu.” Mata aku kembali sembab,
“Ya udah lah, lagian aku kok yang salah.”
“Gak lah, kan kamu yg sibuk ada yg kamu kerjakan, salah ak semua ni.”
“Udah lah, ak gak mau nyalahin siapa2, aku juga gak mau nyalahin keadaan, yang penting kamu tau aja permasalahannya, semoga aja aku bisa lebih baik lagi..”
“:)”
“:)” satu senyum dengan sejuta makna yang tersirat dibaliknya. Aku berdoa diberi kekuaan untuk berbicara langsung pada Vira tentang masalah ini.
“Aku tau ku takkan bisa menjadi seperti yang engkau minta namun selama nafas berhembus aku kan mencoba. Aku tau dia yang bisa menjadi seperti yang engkau minta namun selama aku bernyawa aku kan mencoba menjadi seperti yang kau pinta.
˚ ˚ ˚
“Jemput aku dong
Apa? Kamu nih gimana sih, tadi pagi kan bilangnya kamu mau jemput ak,
Ya udah deh aku sama temen aku aja nanti,
Tut tut tut..”
“Kenapa?” tanyaku yang kebetulan saat itu berada di dekatnya.
“Lia, sepupuku gak mau jemput, padahal tadi pagi dia bilang mau nganterin aku pulang, rupanya dia lagi sama temennya.” kesemapatan bagus juga pikirku untuk membicarakan suatu hal.
“Ya udah, sama aku aja,” ajakku padanya, dan tanpa ragu ia menjawab,
“Ayo deh,”
“Kemarin Dirga sms aku,” kataku memulai percakapan.
“Dia bilang apa?”
“Emm..em…dia bilang..” lidahku kelu mengungkapkannya, bibirku serasa terkatup tak bisa bersuara, aku menarik nafas dalam-dalam, menelan ludah ku lalu mulai berbicara. Aku mulai dari pertama kali dia memulai percakapan dengan memanggil nama ku, aku berbicara sangat lirih, tak seperti biasanya, entah kenapa, mungkin ini pertama kalinya aku berbicara selirih ini. Banyak yang tertahan dari kata-kataku, aku tak selepas biasanya, aku mengungkap sepatah demi sepatah kata dengan sangat hati-hati pada Vira. Ketika tiba pada bagian saat aku berkata “mau diomongin sekarang?” lidahku tercekat. Kata-kataku tertahan di tenggorokjan dan tak bisa keluar, semakin lirih saja suaraku. Vira terus memandangku, aku tidak tahan melihat tatapan matanya, begitu lembut begitu tulus. Ia dengan sabar menunggu setiap kata yang keluar dari mulutku, ia diam masih menatapku. Tuhan, aku tak sanggup, aku tak bisa. Tanganku bergetar tak menentu, akhirnya aku memberanikan diri dengan mengumpulkan semua nyawaku.
“Aku bilang..aku bilang..eh..em..aku bilang..sory sebelumnya, jangan dimasukkin ke hati yah, masalah ini uda selesai, plis jangan marah sama aku,” Vira mengangguk tanda setuju
“Aku bilang..em..er..aku iri sama kamu,” lanjutku lalu selebihnya sama dengan apa yang kirimkan pada Dirga. Sepanjang aku bercerita Vira hanya terdiam memaku menyimak mungkin sambil memikirkan kata-kataku, entah lah aku tak tau apa yang sedang ia pikirkan, aku tak bisa membaca isi pikiran dan hati orang lain. Dan ketika aku bilang bahwa emoticon senyum itu adalah akhir dari percakapan kami, raut wajahnya seketika berubah, aku tak bisa menginterpretasikannya. Romannya tak dapat kutangkap dengan mata kecilku ini, atau aku terlalu takut mengungkapkan wajah yang tergambar padanya, yang ku lihat ada setitik penyesalan, entah penyesalan akan apa, selebihnya aku menyerah untuk memaknainya. Aku tak bisa lebih lama menatap wajahnya karena menatapnya seakan-akan aku melihat kesalahan yang ku lakukan padanya.
“Ku harap kamu gak berubah sikap sama aku ataupun dia.”
“Aku harus segera pulang, ku lihat langit sedang tak bersahabat,” tambahku lagi setelah sesaat melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Lalu aku meninggalkannya dalam kesendirian, sementara aku pulang dengan hati yang masih biru.
Seakan tau apa yang sedang aku rasakan, beberapa menit setelah aku menginjakkan kaki dirumah, langit yang tadinya menhitam kini mengeluarkan tetesan-tetesan air yang semakin lama semakin membasahi siapa saja yang berada di lingkupnya. Kilat menyambar-nyambar, aku hanya bisa ketakutan dari balik selimutku. Petir bersahut-sahutan dan aku hanya bisa menguatkan hati ku dalam kesendirian dan keheningan sore ini. Aku teringat Vira, aku ingin menghubunginya saat itu juga namun suara gelegar di luar menahanku, aku terbayang wajahnya yang penuh kelembutan dan kesabaran mendengar setiap kata yang keluar dari mulutku. Aku merindukannya walau baru 30 menit yang lalu aku berpamitan padanya.
Aku sungguh merindukannya saat ini, Tuhan kumohon jangan buat persahabatan kami hancur hanya gara-gara ini. Aku masih ingin melihat senyumnya, aku masih ingin melihat wajah lembutnya, aku masih ingin bersamanya, aku..aku..aku ingin meminta maaf padanya sekali lagi dari lubuk hatiku yang paling dalam. Semoga hari esok kan terwujud.
“Tuhan bila masih ku diberi kesempatan izinkan aku untuk mencintainya, namun bila waktuku telah habis dengannya, biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja.”
“Giska.” Dan benar saja apa yang aku pikirkan, seseorang yang mengganjal di akhir hari-hariku mencoba menulai percakapan.
“Ap?” jawabku singkat dan tidak berminat.
“Kok ak sms gak dibalas?”
“Yg mana?” masih dengan suasana yang tidak begitu menyenangkan.
“Yg ak tanya kelanjutan dari kata2 kemaren.”
“Oh, itu hanya perasaan yang tidak bisa terlampiaskan dengan kata2.” Balasku cepat.
“Pasti kamu kan yang kemarin sms ak pake no lain, jangan bohong sama ak.” Yah, aku memang pernah memakai nomorku yang lain, tanpa menulis nana pengirim.
“Iy, trs knp?” jawabku makin sinis, entah kenapa, aku langsung mengetik apa yang terlintas di otakku tanpa memikirkan lagi apa yang aku ketik.
“Kita jujur y disini, sebenarnya kamu kenapa?”
“Seperti yg uda ak blg terlalu byk yang gk bisa diungkapkan dg kata2.”
“Kasih ak 1 kata yg mencakup semuanya, pasti ada.” Ternyata ia masih gigih mempertanyakan semua ini, padahal aku sudah mulai tak bisa membendung apa yang aku rasakan, berkali-kali aku nulis kata-kata yang mencurahkan semua isi hati aku dan berkali-kali pula aku menghapusnya. Entah apa yang ada dipikiranku, tangan ini sudah letih menuliskan kata2 tapi tak mampu jua mewakili persaan yang sedang aku alami, akhirnya aku hanya bias menjawab,
“NOTHING” satu kata yang sangat-sangat tidak mewakili perasaan ku, aku sudah gak tau lagi mau nulis apa, akhirnya hanya kata itu yang terlintas.
“Giska. Ada yg berubah dari aku?”
“Gak tau, kenapa mesti tanya sama aku? Aku gak bisa menilai orang secara subjektif.” Apalagi setelah aku dirasuki perasaan ini, ucapku dalam hati namun urung ku ketikkan.
“Terus kamu suruh ak tanya ma siapa?” kenapa sih orang ini, masa’ iya aku mau bilang tanya aja sama orang yang selalu kamu balas pesan-pesannya.
“Tanyakan pada cermin yang selalu menampilkan dirimu apa adanya.” Hanya itu yang ku kirim padanya.
“Giska, ak pengen tanya, kamu gak ada beban ma aku kan?” secara gramatikal kata-katanya seolah menunjukkan gak terjadi apa-apa, makanya kau pertanyakan ulang.
“Maksudnya?”
“Kamu ada masalah yang dipendam gak ma aku? Jujur y, kita terbuka jak lah skg.” Dan hatiku semakin gak menentu menbaca tiap kata dari setiap pesan yang ia kirim.
“Maaf aku gak bisa jawab sekarang.” Sepertinya pipiku sudah mengalir buliran panas
“Berarti ada yg kamu sembunyiin dari aku.” Ah aku sudah gak tahan kalo aku pendam lebih lama lagi. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berkata,
“Mau diomongin sekarang?”
“Iya, aku gak mau kalo kayak gini, jadi ada yg janggal.” Ya Tuhan, bantu hamba, tangan ku semakin menunjukkan tanda-tanda yang tidak baik, ia terus saja mengetik apa yang ada di fikiranku tanpa memberikanku waktu untuk berpikir ulang. Sesekali bibirku bergetar, aku benar-benar gak tau apa yang terjadi sekarang, semuanya cepat sekali berlalu.
“Ok, ak langsung aja, ak jujur sekarang. Aku iri sama seseorang, seseorang yg akhir2 ini deket sama kamu, seseorang itu temen baik aku sendiri, ya seseorang itu Vira. Aku iri sama dia yang akhir2 ini lebih sering kamu peduliin pesan2nya, aku iri sama dia yang bisa membuat suasana menyenangkan dalam hari2 kamu, aku iri sama dia yang selalu ada waktu buat kamu, aku iri ketika dia buat stat ttg kamu, dia tau lebih banyak ttg kamu daripada aku yg uda bertaun2 kenal sama kamu, aku nyesal banget aku selalu sibuk dan jarang ada waktu buat kamu, aku nyesal kenapa aku malah mempermasalahkan hal sekecil ini, ak nyesel kenapa sekarang aku jadi seperti anak kecil, aku nyesel, dan permasalahannya adalah karena aku suka envy sama orang dan aku terlalu egois. Tolong jangan bilang masalah ini sama Vira dulu, karena aku yang akan ngomong langsung sama dia, aku gak suka kalau kata2 tadi terdengar oleh Vira bukan dari mulutku, aku bisa menyelesaikan masalah ku sendiri.”
“Ak minta maaf ya Giska, kalo misalnya ak ngebeda2in kamu dg dia, tapi aku gak ada maksud kayak gitu.” Mata aku kembali sembab,
“Ya udah lah, lagian aku kok yang salah.”
“Gak lah, kan kamu yg sibuk ada yg kamu kerjakan, salah ak semua ni.”
“Udah lah, ak gak mau nyalahin siapa2, aku juga gak mau nyalahin keadaan, yang penting kamu tau aja permasalahannya, semoga aja aku bisa lebih baik lagi..”
“:)”
“:)” satu senyum dengan sejuta makna yang tersirat dibaliknya. Aku berdoa diberi kekuaan untuk berbicara langsung pada Vira tentang masalah ini.
“Aku tau ku takkan bisa menjadi seperti yang engkau minta namun selama nafas berhembus aku kan mencoba. Aku tau dia yang bisa menjadi seperti yang engkau minta namun selama aku bernyawa aku kan mencoba menjadi seperti yang kau pinta.
˚ ˚ ˚
“Jemput aku dong
Apa? Kamu nih gimana sih, tadi pagi kan bilangnya kamu mau jemput ak,
Ya udah deh aku sama temen aku aja nanti,
Tut tut tut..”
“Kenapa?” tanyaku yang kebetulan saat itu berada di dekatnya.
“Lia, sepupuku gak mau jemput, padahal tadi pagi dia bilang mau nganterin aku pulang, rupanya dia lagi sama temennya.” kesemapatan bagus juga pikirku untuk membicarakan suatu hal.
“Ya udah, sama aku aja,” ajakku padanya, dan tanpa ragu ia menjawab,
“Ayo deh,”
“Kemarin Dirga sms aku,” kataku memulai percakapan.
“Dia bilang apa?”
“Emm..em…dia bilang..” lidahku kelu mengungkapkannya, bibirku serasa terkatup tak bisa bersuara, aku menarik nafas dalam-dalam, menelan ludah ku lalu mulai berbicara. Aku mulai dari pertama kali dia memulai percakapan dengan memanggil nama ku, aku berbicara sangat lirih, tak seperti biasanya, entah kenapa, mungkin ini pertama kalinya aku berbicara selirih ini. Banyak yang tertahan dari kata-kataku, aku tak selepas biasanya, aku mengungkap sepatah demi sepatah kata dengan sangat hati-hati pada Vira. Ketika tiba pada bagian saat aku berkata “mau diomongin sekarang?” lidahku tercekat. Kata-kataku tertahan di tenggorokjan dan tak bisa keluar, semakin lirih saja suaraku. Vira terus memandangku, aku tidak tahan melihat tatapan matanya, begitu lembut begitu tulus. Ia dengan sabar menunggu setiap kata yang keluar dari mulutku, ia diam masih menatapku. Tuhan, aku tak sanggup, aku tak bisa. Tanganku bergetar tak menentu, akhirnya aku memberanikan diri dengan mengumpulkan semua nyawaku.
“Aku bilang..aku bilang..eh..em..aku bilang..sory sebelumnya, jangan dimasukkin ke hati yah, masalah ini uda selesai, plis jangan marah sama aku,” Vira mengangguk tanda setuju
“Aku bilang..em..er..aku iri sama kamu,” lanjutku lalu selebihnya sama dengan apa yang kirimkan pada Dirga. Sepanjang aku bercerita Vira hanya terdiam memaku menyimak mungkin sambil memikirkan kata-kataku, entah lah aku tak tau apa yang sedang ia pikirkan, aku tak bisa membaca isi pikiran dan hati orang lain. Dan ketika aku bilang bahwa emoticon senyum itu adalah akhir dari percakapan kami, raut wajahnya seketika berubah, aku tak bisa menginterpretasikannya. Romannya tak dapat kutangkap dengan mata kecilku ini, atau aku terlalu takut mengungkapkan wajah yang tergambar padanya, yang ku lihat ada setitik penyesalan, entah penyesalan akan apa, selebihnya aku menyerah untuk memaknainya. Aku tak bisa lebih lama menatap wajahnya karena menatapnya seakan-akan aku melihat kesalahan yang ku lakukan padanya.
“Ku harap kamu gak berubah sikap sama aku ataupun dia.”
“Aku harus segera pulang, ku lihat langit sedang tak bersahabat,” tambahku lagi setelah sesaat melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Lalu aku meninggalkannya dalam kesendirian, sementara aku pulang dengan hati yang masih biru.
Seakan tau apa yang sedang aku rasakan, beberapa menit setelah aku menginjakkan kaki dirumah, langit yang tadinya menhitam kini mengeluarkan tetesan-tetesan air yang semakin lama semakin membasahi siapa saja yang berada di lingkupnya. Kilat menyambar-nyambar, aku hanya bisa ketakutan dari balik selimutku. Petir bersahut-sahutan dan aku hanya bisa menguatkan hati ku dalam kesendirian dan keheningan sore ini. Aku teringat Vira, aku ingin menghubunginya saat itu juga namun suara gelegar di luar menahanku, aku terbayang wajahnya yang penuh kelembutan dan kesabaran mendengar setiap kata yang keluar dari mulutku. Aku merindukannya walau baru 30 menit yang lalu aku berpamitan padanya.
Aku sungguh merindukannya saat ini, Tuhan kumohon jangan buat persahabatan kami hancur hanya gara-gara ini. Aku masih ingin melihat senyumnya, aku masih ingin melihat wajah lembutnya, aku masih ingin bersamanya, aku..aku..aku ingin meminta maaf padanya sekali lagi dari lubuk hatiku yang paling dalam. Semoga hari esok kan terwujud.
“Tuhan bila masih ku diberi kesempatan izinkan aku untuk mencintainya, namun bila waktuku telah habis dengannya, biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar