21/9/12
Berkali-kali aku mematut diriku di
cermin, membenarkan bajuku, merapikan cardiganku, melihat wajahku, sepertinya
tak ada lagi yang salah. Ini akan jadi malam yang menyenangkan, gumamku.
Pikiranku sudah terbang kemana-mana. Aku keluar kamar hendak menunggunya. “Kamu
mau kemana?” tanya mamaku sembari menonton televisi. “Mau jalan lah,” udah tau anaknya pakaiannya rapi gini, masa’
iya cuma mau ke dapur. “Sama siapa?” lagi-lagi keluar pertanyaan, biasanya sih
akan ditanya sampai hal yang paling mendetail yang menurutku gak terlalu
penting, entah orang tuaku ini suka basa-basi atau memang mereka kepo. “Sama
mas,” ujarku singkat. Ayahku yang tengah asyik membolak-balik koran seketika
langsung menjatuhkannya di lantai. “Mas kamu itu mau nikah, kamu gak boleh
jalan bareng dia!” tegas ayah mengagetkanku. “Cuma sebentar kok, mutar-mutar
doang,” bantahku. “Gak boleh, apa kata orang nanti, masa’ orang mau nikahan
malah keliaran, biarpun kamu adeknya, tapi orang lain yang tidak tau bisa berpikiran
macam-macam.” “Emangnya kenapa gak boleh?” rasa penasaranku memuncak. “Ya
memang tidak boleh, kalau terjadi apa-apa di jalan pasti kita yang disalahkan.”
“Makanya jangan berdoa gitu, kalau didoakan malah kejadian,” tegasku karena
menurutku perkataan adalah doa, maka yang dipikirkan atau dikatakan, mau yang
baik atau yang buruk kemungkinan besar terjadi. Makanya berhati-hatilah dalam
berkata. “Kalau dibilang gak boleh ya gak boleh!” Emosiku langsung membludak
saat itu, tanpa basa-basi, aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Sekilas ku
lihat mas datang dengan motornya, samar-samar ku dengar orang tuaku
menceramahinya. Huh, selamat sudah berhasil menghancurkan kesan pertama disini!
Ku buka laptop dan kucurahkan semuanya di jejaring sosial. Sepertinya curhat
dengan layar terlihat lebih asyik, meskipun tak ada yang merespon, setidaknya
kau sudah puas mencurahkan apa yang mengganjal di hatimu saat itu. Mungkin
inilah penyebab orang berbondong-bondong memenuhi dunia maya.
Aku baru saja datang di kota kelahiran
ayahku jam setengah satu pagi tadi. Dan ketika aku dan mas ku berjanji akan
jalan bersama, ada saja yang mengacaukannya. Dan yang paling tidak bisa ku
terima adalah alasannya. Mereka melarang kami hanya karena mitos! Masyarakat
tua daerah sini percaya bahwa seorang calon pengantin tidak boleh bepergian 3
hari sebelum hari akadnya. Aku pikir ini hanya sebuah mitos, jika mereka
membuktikan kejadian-kejadian yang dialami oleh orang-orang sebelumnya
menurutku itu berasal dari pemikiran mereka sendiri. Mereka tak sengaja
melanggar mitos, begitu sadar mereka ketakutan dan memikirkan apa yang terjadi
pada diri mereka nanti, lalu mereka jadi tidak konsentrasi dan tidak berhati-hati
dan sesuatu yang buruk terjadi. Lalu para tetua tersenyum berhasil membuktikannya.
Yah ini hanya pemikiranku, pemikiran anak kecil kan tak pernah dianggap.
Walaupun sekarang usiaku tidak lagi kecil, aku tetap dianggap begitu disana.
Menyebalkan, ku tau segala yang kecil-kecil itu jarang dianggap. Padahal dari
hal kecil itulah terjadi sesuatu yang besar, contohnya masalah. Masalah yang
kecil bila dibiarkan dan tidak segera diselesaikan, akan menjadi masalah yang
besar.
Mas masih berada di rumah mungkin menungguiku
keluar dari kamar. Tapi aku malas berada di luar duduk bersama orang-orang yang
sudah menghancurkan hariku. Sebenarnya aku sangat-sangat ingin keluar, tujuanku
hanya ingin menemui mas yang sudah enam tahun tak kutemui itu. Namun gengsi
mengalahkan perasaan rindu. Tak lama hape ku bergetar, ku lihat di layar ada
namanya. Tak ku balas, aku sedang hancur. Ada temannya yang bersedia
mengggantikannya untuk mememaniku malam ini, entah dia yang menyuruhnya atau
memang orang itu kebetulan datang ke rumah dan mengetahui permasalahan ini. Aku
tak mengubrisnya, aku kan mau nya jalan sama kamu, bukan sama dia. Dasar tidak
peka, huh!
Satu pesan lagi masuk, ku biarkan.
Hingga tiga pesan baru terketuk hatiku untuk membalasnya. Ku pikir ini bukan
salahnya, kenapa harus dia yang aku korbankan. Ku curahkan perasaanku padanya. Aku
gak percaya kalau orang masih percaya sama mitos, ini kan bukan jaman sebelum
masehi, ini kan udah 2012. Jadi kalau misalnya terjadi apa-apa, apakah orang
menyalahkan mitos? Dengan tenangnya mas menjawab, “Ya namanya juga orang tua,
biar bagaimanapun kita harus patuh dan menghormatinya meski pendapat berbeda.”
But everyone have chance to choose
better. Dan mas tidak mengambil kesempatan itu, mas bermain aman tak mau
mengambil resiko. Aku maklum sih kalau dia tidak mau menambil resiko, dia itu
tipikal orang pemikir. Nanti bisa-bisa dia stress sendiri. Aku kira ini akan
jadi waktu yang paling menyenangkan, tapi kenyataannya sebaliknya. Aku gak tau
harus ngomong apalagi. Mood aku udah hancur cuma gara-gara mitos! I need
moodbooster!!! Mas hanya menenangkanku dan membuatku lebih sabar. Berkali-kali
ia membujukku keluar. Entah kenapa ia masih betah berada di luar bersama
orang-orang yang telah mengahncurkan harinya. Kalau saja di rumah itu ada suatu
tempat dimana kami bisa berdua, tentu aku sudah mengajaknya kesana. Sayangnya
rumahku disana tak ada taman maupun halaman belakang untuk bisa bersantai.
Dari pukul 7 malam aku berdiam diri
dikamarku bersama handphone dan laptopku yang baterainya sudah sekarat.
Sepertinya lama-lama aku bosan juga hanya memandangi kata-kata yang dia
kirimkan. Aku ingin memandangnya langsung bukan dibatasi layar. Sekitar pukul
sebelas aku memberanikan diri membuka pintu kamar. Ku lihat sekilas kosong!
Tapi terdengar suara dari arah depan, oh rupanya mereka sudah pindah ke ruang
tamu. Dengan headset di telinga aku berjalan sambil mendendangkan beberapa
lagunya Avril Lavigne. Ku lihat ia tengah duduk memandangi hapenya. Ia
memandangiku sejenak, aku langsung buang muka. Aku tak mau memandanginya lebih
lama, mengingatkanku pada rencana yang telah gagal. Tapi hatiku masih ingin
terus melihatnya, peperangan batin. Lagi-lagi gengsi mengalahkan perasaan
rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar