Sabtu, 13 Oktober 2012

Part 1 Who Believe Myth?


21/9/12

Berkali-kali aku mematut diriku di cermin, membenarkan bajuku, merapikan cardiganku, melihat wajahku, sepertinya tak ada lagi yang salah. Ini akan jadi malam yang menyenangkan, gumamku. Pikiranku sudah terbang kemana-mana. Aku keluar kamar hendak menunggunya. “Kamu mau kemana?” tanya mamaku sembari menonton televisi. “Mau jalan lah,”  udah tau anaknya pakaiannya rapi gini, masa’ iya cuma mau ke dapur. “Sama siapa?” lagi-lagi keluar pertanyaan, biasanya sih akan ditanya sampai hal yang paling mendetail yang menurutku gak terlalu penting, entah orang tuaku ini suka basa-basi atau memang mereka kepo. “Sama mas,” ujarku singkat. Ayahku yang tengah asyik membolak-balik koran seketika langsung menjatuhkannya di lantai. “Mas kamu itu mau nikah, kamu gak boleh jalan bareng dia!” tegas ayah mengagetkanku. “Cuma sebentar kok, mutar-mutar doang,” bantahku. “Gak boleh, apa kata orang nanti, masa’ orang mau nikahan malah keliaran, biarpun kamu adeknya, tapi orang lain yang tidak tau bisa berpikiran macam-macam.” “Emangnya kenapa gak boleh?” rasa penasaranku memuncak. “Ya memang tidak boleh, kalau terjadi apa-apa di jalan pasti kita yang disalahkan.” “Makanya jangan berdoa gitu, kalau didoakan malah kejadian,” tegasku karena menurutku perkataan adalah doa, maka yang dipikirkan atau dikatakan, mau yang baik atau yang buruk kemungkinan besar terjadi. Makanya berhati-hatilah dalam berkata. “Kalau dibilang gak boleh ya gak boleh!” Emosiku langsung membludak saat itu, tanpa basa-basi, aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Sekilas ku lihat mas datang dengan motornya, samar-samar ku dengar orang tuaku menceramahinya. Huh, selamat sudah berhasil menghancurkan kesan pertama disini! Ku buka laptop dan kucurahkan semuanya di jejaring sosial. Sepertinya curhat dengan layar terlihat lebih asyik, meskipun tak ada yang merespon, setidaknya kau sudah puas mencurahkan apa yang mengganjal di hatimu saat itu. Mungkin inilah penyebab orang berbondong-bondong memenuhi dunia maya.

Aku baru saja datang di kota kelahiran ayahku jam setengah satu pagi tadi. Dan ketika aku dan mas ku berjanji akan jalan bersama, ada saja yang mengacaukannya. Dan yang paling tidak bisa ku terima adalah alasannya. Mereka melarang kami hanya karena mitos! Masyarakat tua daerah sini percaya bahwa seorang calon pengantin tidak boleh bepergian 3 hari sebelum hari akadnya. Aku pikir ini hanya sebuah mitos, jika mereka membuktikan kejadian-kejadian yang dialami oleh orang-orang sebelumnya menurutku itu berasal dari pemikiran mereka sendiri. Mereka tak sengaja melanggar mitos, begitu sadar mereka ketakutan dan memikirkan apa yang terjadi pada diri mereka nanti, lalu mereka jadi tidak konsentrasi dan tidak berhati-hati dan sesuatu yang buruk terjadi. Lalu para tetua tersenyum berhasil membuktikannya. Yah ini hanya pemikiranku, pemikiran anak kecil kan tak pernah dianggap. Walaupun sekarang usiaku tidak lagi kecil, aku tetap dianggap begitu disana. Menyebalkan, ku tau segala yang kecil-kecil itu jarang dianggap. Padahal dari hal kecil itulah terjadi sesuatu yang besar, contohnya masalah. Masalah yang kecil bila dibiarkan dan tidak segera diselesaikan, akan menjadi masalah yang besar.

Mas masih berada di rumah mungkin menungguiku keluar dari kamar. Tapi aku malas berada di luar duduk bersama orang-orang yang sudah menghancurkan hariku. Sebenarnya aku sangat-sangat ingin keluar, tujuanku hanya ingin menemui mas yang sudah enam tahun tak kutemui itu. Namun gengsi mengalahkan perasaan rindu. Tak lama hape ku bergetar, ku lihat di layar ada namanya. Tak ku balas, aku sedang hancur. Ada temannya yang bersedia mengggantikannya untuk mememaniku malam ini, entah dia yang menyuruhnya atau memang orang itu kebetulan datang ke rumah dan mengetahui permasalahan ini. Aku tak mengubrisnya, aku kan mau nya jalan sama kamu, bukan sama dia. Dasar tidak peka, huh!

Satu pesan lagi masuk, ku biarkan. Hingga tiga pesan baru terketuk hatiku untuk membalasnya. Ku pikir ini bukan salahnya, kenapa harus dia yang aku korbankan. Ku curahkan perasaanku padanya. Aku gak percaya kalau orang masih percaya sama mitos, ini kan bukan jaman sebelum masehi, ini kan udah 2012. Jadi kalau misalnya terjadi apa-apa, apakah orang menyalahkan mitos? Dengan tenangnya mas menjawab, “Ya namanya juga orang tua, biar bagaimanapun kita harus patuh dan menghormatinya meski pendapat berbeda.” But everyone have  chance to choose better. Dan mas tidak mengambil kesempatan itu, mas bermain aman tak mau mengambil resiko. Aku maklum sih kalau dia tidak mau menambil resiko, dia itu tipikal orang pemikir. Nanti bisa-bisa dia stress sendiri. Aku kira ini akan jadi waktu yang paling menyenangkan, tapi kenyataannya sebaliknya. Aku gak tau harus ngomong apalagi. Mood aku udah hancur cuma gara-gara mitos! I need moodbooster!!! Mas hanya menenangkanku dan membuatku lebih sabar. Berkali-kali ia membujukku keluar. Entah kenapa ia masih betah berada di luar bersama orang-orang yang telah mengahncurkan harinya. Kalau saja di rumah itu ada suatu tempat dimana kami bisa berdua, tentu aku sudah mengajaknya kesana. Sayangnya rumahku disana tak ada taman maupun halaman belakang untuk bisa bersantai.

Dari pukul 7 malam aku berdiam diri dikamarku bersama handphone dan laptopku yang baterainya sudah sekarat. Sepertinya lama-lama aku bosan juga hanya memandangi kata-kata yang dia kirimkan. Aku ingin memandangnya langsung bukan dibatasi layar. Sekitar pukul sebelas aku memberanikan diri membuka pintu kamar. Ku lihat sekilas kosong! Tapi terdengar suara dari arah depan, oh rupanya mereka sudah pindah ke ruang tamu. Dengan headset di telinga aku berjalan sambil mendendangkan beberapa lagunya Avril Lavigne. Ku lihat ia tengah duduk memandangi hapenya. Ia memandangiku sejenak, aku langsung buang muka. Aku tak mau memandanginya lebih lama, mengingatkanku pada rencana yang telah gagal. Tapi hatiku masih ingin terus melihatnya, peperangan batin. Lagi-lagi gengsi mengalahkan perasaan rindu.